Senin, 04 Januari 2010

STANDAR SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

Pemerintah Jangan Ragu Bangun Sarana Pendidikan

Kamis, 05 Maret 2009 06:15 WIB

PEMERINTAH yang tidak ragu-ragu dalam membangun sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor majunya pendidikan di Jepang. Pembangunan sekolah-sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi sampai ke pelosok kota kecil di Jepang salah satu wujud keseriusan tersebut.

Hal tersebut diakui oleh Prof Toru Kikkawa dari Universitas Osaka Jepang dalam seminar pendidikan berjudul 'Education in Indonesia and Japan: Future Challenges and Opportunities' yang diadakan oleh Universitas Paramadima di Jakarta, Rabu (4/3).

Dalam presentasinya, Prof. Toru Kikkawa, menyajikan hal-hal apa saja yang mempengaruhi perkembangan pendidikan di Jepang selama ini. Beliau juga memaparkan bagaimana latar belakang pendidikan orang tua sangat mempengaruhi peningkatan level pendidikan masyarakat Jepang pada generasi berikutnya.

Jika di negara berkembang, faktor gender, etnis dan ekonomi sangat mempengaruhi level pendidikan masyarakatnya, latar belakang pendidikan orang tua tidak terlalu berpengaruh.

Berbeda dengan Jepang, justru faktor latar belakang pendidikan orang tua dan status pekerjaan yang sangat berpengaruh pada perkembangan level pendidikan masyarakatnya, tutur Toru.

Hal ini juga disambut dengan pernyataan dari Dr. Anies Baswedan yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih berupa produk komersil. Masyarakat masih berpikir sekolah itu mahal dan hanya orang-orang berduit saja yang bisa sekolah.

Anggaran pendidikan yang dipatok 20% pada APBN 2009 sebenarnya masih belum cukup untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia, mengingat demikian luasnya wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan pendidikan level sekolah menengah dan perguruan tinggi masih langka di daerah-daerah terpencil, jelas Anies.

Saat ini Jepang target program wajib belajar 9 tahun Jepang telah terpenuhi 100% dari populasi penduduk Jepang. Untuk tingkat sekolah menengah, 97% dari populasi penduduk telah mengikutinya dan untuk tingkat perguruan tinggi 50% dari populasi penduduk Jepang telah menempuh pendidikan tingkat perguruan tinggi.

Berangkat dari hal tersebut, Anies menambahkan bahwa Indonesia harus memiliki manajemen pengembangan pendidikan yang baik. Indonesia dapat memulai dari meningkatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sama untuk seluruh rakyat Indonesia, mulai dari level pendidikan sekolah dasar sampai level perguruan tinggi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk meningkatkan taraf kehidupan menjadi lebih baik. (*/OL-02)

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/03/03/63568/88/
14/Pemerintah_Jangan_Ragu_Bangun_Sarana_Pendidikan_

Comment
Untuk mengembangkan dunia pendidikan di indonesia memang tugas pokok pemerintah,sehingga dunnia pendidikan di indonesia akan berkembang dengan seiring berjalan nya waktu.
Dalam artikel ini pemerintah di anjurkan agar jangan ragu-ragu untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan.
Pemerintah mempunyai dana anggaran untuk pendidikan sekitar 20% dari APBN,Apa mungkin nilai 20% itu memang benar-benar sampai taraf ke 20% untuk pendidikan???Entah.
Sarana dan prasarana di indonesia untuk saat ini memang belum memenuhi tuntutan zaman.waktu dan teknologi berbanding lurus yang dimana waktu terus barjalan teknologi pun semakin hebat.Maka dibutuhkan lah sarana dan prasara pendidikan yang menunjang.
Jika prof. Toru kikkawa meyebutkan yang membedakan antara pendidikan di indonesia dengan di jepang ialah faktor latar belakang pendidikan dan status pekerjaan orang tua yang mempunyai pengaruh besar untuk mengembang kan level pendidikan di jepang.
Saya kurang sependapat dengan kalimat tersebut,Apakah itu merupakan faktor yang memang berpangaruh besar??
Menurut saya tidak,yach memang itu salah satu faktor nya tapi hanya kecil kemungkinan nya disebabkan oleh hal seperti itu.Hal yang Mempunyai faktor besar dalam tersendat nya pendidikan di indonesia ialah karena kurang nya dukungan pemerintah dalam menjamin masa depan penduduk nya dengan memberikan lapangan pekerjaan yang cukup dan layak bagi masing – masing penduduk yang memperoleh pendidikan.
Dengan alasan tersebut banyak sekali penduduk indonesia yang tidak mempunyai semangat dan minat untuk melanjutkan pendidikan yang terbaik bagi dirinya,mereka beranggapan tidak ada perbedaaan yang kontras dengan yang memperoleh pendidikan. Coba kita lihat situasi pada saat ini banyak para sarjana yang luntang – lantung, kesana – kesini mencoba mencari pekerjaan yang layak ternyata hasil nya mengecewakan bagi dirinya.

STANDAR PROSES PENDIDIKAN

Menjadi Pembelajar dalam Proses PendidikanBy Aprilia Lestari


Sebelum masa ujian, saya memberikan tugas kepada mahasiswa untuk menerangkan cara kerja sebuah alat, lengkap dengan bagan, keterangan, cara kerja dan hukum hukum fisika yang diterapkan. Paling lambat sehari sebelum ujian dikumpulkan. Pada hari ujian soal tentang alat itu keluar. Tetapi hanya sedikit para mahasisiwa yang, menjawab dengan benar. apa yang terjadi??
Tujuan dari pendidikan atau pembelajaran adalah mencari ilmu atau keahlian sehingga dapat dimanfaatkan dalam kehidupan seseorang. Rupanya pengejawantahan dari tujuan ini sudah melenceng sedemikian jauhnya, sehingga pendidikan ditempuh untuk mendapatkan ijasah dan status yang setinggi-tingginya, khususnya di pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Para pembelajar tidak memilih sekolah atau jurusan sesuai dengan minat, bakat atau kemampuannya, tetapi menimbang dari faktor-faktor dari luar diri mereka sendiri. Misalnya, memilih sekolah SMA A karena katanya ‘bagus’ dan banyak teman-teman yang di sana, kuliah di kampus B karena biaya yang tersedia hanya cukup untuk kuliah di situ, mengambil jurusan C karena para lulusannya cukup menjual. Faktor luar bukanlah faktor yang tidak patut dipertimbangkan, tetapi tanpa menyadari dan mempertimbangkan faktor dari dalam diri sendiri berarti menempatkan diri pembelajar sebagai obyek dari pembelajaran, bukan subyek. Perlu juga kita mengupas kata bagus dalam tanda kutip di atas. Bagus untuk siapa? Mungkin untuk orang tua, sekolah atau untuk anak itu sendiri. Dan bagus untuk kapan? Mungkin selama anak di sekolah atau setelah keluar dari sekolah. Tetapi kadang tidak terpikir seperti itu, mereka mau mengikuti prosedur apapun yang kadang tidak ada hubugannya dengan pembelajaran, demi mendapatkan ijasah. Seingat saya di sewaktu di sekolah dasar kita diajarkan untuk menuntut ilmu untuk bekal di kemudian hari. Entah sejak kapan tujuan itu bergeser.

Kelakuan mahasiswa yang saya ceritakan di atas jelas tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Pergeseran tujuan pembelajaran juga terjadi pada tingkat pendidikan yang lebih rendah, yaitu di tingkat sekolah menengah. Gejalanya adalah banyak mahasiswa yang tidak menguasai pelajaran-pelajaran sekolah menengah.

Proses belajar bukan sekedar masalah menghabiskan materi kurikulum. Bagian dari proses belajar yang juga sangat penting adalah membentuk jiwa pembelajar. Yang bisa dilakukan untuk mencapai target ini adalah mengkondisikan lingkungan belajar, memberi kesempatan kepada pembelajar untuk berpikir, menganalisa, menilai dan mengambil keputusan. Untuk berlatih ini membutuhkan keberanian yang lebih besar daripada mencontek, tentu lebih sulit dikerjakan. Tetapi untuk bisa terlaksana tentunya harus dimulai dan para pendidik harus memberi kesempatan.

Setelah saya selesai mengoreksi ujian mahasiswa tadi, yang saya lakukan adalah mengembalikan tugas ke mahasiswa untuk diganti dengan tulisan tangan, bukan ketikan, dan kalau mungkin memberikan tugas yang berbeda untuk beberapa mahasiswa. Sepertinya pekerjaan tambahan, tetapi dengan begitu banyak tujuan belajar yang bisa tercapai. Misalnya mereka mengerti apa yang mereka tulis, dan belajar untuk memulai pekerjaan dengan benar, karena kalau tidak dimulai dengan benar, setelah selesai dan salah, mungkin mereka harus mengulanginya dari awal lagi.


Aprilia sakti Kusumalestari
Comment
Menurut saya faktor penyebab yang mempengaruhi sehingga para pelajar tidak mampu meyelesaikan masalah mengenai tugas tersebut disebabkan karena jiwa pemalas lebih besar di bandingkan semangat untuk memperoleh ilmu yang berguna untuk kehidupan masa depan nya kelak.
Faktor ini lah yang harus menjadi perhatian buat para guru dan dosen untuk merangsang setiap materi pelajaran yang di sampaikan dapat menarik perhatian dan minat setiap pelajar.
Semua yang salah pada pendidikan dan terutama kasus tersebut tidak harus atau segala sesuatunya di limpahkan kepada seorang pelajar, seakan – akan ia menjadi terpidana dalam kasus tersebut. Ada sesuatu yang juga harus menjadi perhatian kita dengan kinerja para guru –guru dan dosen. Coba para guru – guru dan dosen – dosen untuk introspeksi diri apa mereka mengajar dan menyampaikan informasi dengan baik sehinnga dapat menarik perhatian yang dapat merangsang minat para pelajar untuk melakukan tindakan yang memang seharusnya di lakukan oleh para pelajar yaitu menuntut ilmu tanpa mengenal kata malas.
Terkadang seorang guru atau dosen mengajar di dalam ruang kelas hanya didasari sekedar melakukan kewajibannya sebagai seorang pendidik , ia tidak mempunyai semangat untuk melakukan yang terbaik , sehingga apa yang di sampaikan juga tidak bermutu.
Diharapkan seorang pendidik dalam mengajar di dalam kelas tidak hanya sekedar melakukan kewajiban sebagai pendidik tetapi ia juga harus mengerti bahwa ia harus melakukan nya dengan sepenuh hati dan dengan kebesaran hati bahwa ia akan melakukan tugas yang mulia penentu masa depan bangsa, sehingga hasil nya pun menjadi lebih baik.
Memang dalam hal ini semua harus introspeksi diri untuk melakukan yang terbaik, baik guru – guru maupun para murid nya sehingga mutu pendidikan indonesia dapat berjalan semakin mencapai yang terbaik sesuai yang di harapkan. Pendidikan yang mampu bersaing dan menjawab tantangan kehidupan untuk saat ini maupun masa depan.

STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN

PENILAIAN DI BIDANG PENDIDIKAN
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Fadjar Shadiq, M.App.Sc
Widyaiswara PPPPTK Matematika
(fadjar_p3g@yahoo.com & www.fadjarp3g.wordpress.com)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Depdiknas, 2005) dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
(Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Depdiknas, 2007) telah ditetapkan. Pada dasarnya, penetapan UU dan Permendiknas tersebut adalah untuk menunjang pencapaian visi pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional yang sudah disepakati adalah untuk mewujudkan suatu sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa dalam memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang akan selalu berubah. Lalu, pertanyaan paling tepat yang dapat diajukan saat ini adalah: "Apakah dengan adanya UU Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 maka upaya untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah akan semakin mendekati kenyataan?" Artikel yang merupakan pendapat salah seorang praktisi pendidikan matematika ini akan membahas dua hal yang berkait dengan penilaian di bidang pendidikan di Indonesia, yaitu tentang:
1. lemahnya pelaksanaan prinsip objektif pada penilaian pendidikan, dalam arti telah terjadi ketidakcocokan antara peraturan yang ada dengan pelaksanaannya di kelas dan lapangan,
2. tidak konsistennya pelaksanaan program sertifikasi guru, dalam arti terjadi ketidak-cocokan antara konsep hubungan kompetensi (mutu) guru dan kesejahteraan seperti yang direncanakan pada UU dengan implementasinya di lapangan.
Belajar dari Para Guru Matematika
Sebelum menjadi Widyaiswara PPPPTK Matematika di Yogyakarta, penulis adalah Guru Matematika selama 22 tahun (1978-2000) di salah satu SMA di Kawasan Timur
Indonesia. Di samping itu, pada sebagian waktu tersebut, penulis selama 15 tahun (1983-1998) menjadi Instruktur pada Proyek Pemantapan Kerja Guru (PKG) Matematika
yang di antara tugasnya adalah melatih para guru matematika SMP dan SMA yang selanjutnya diikuti dengan mengunjungi para teman guru tersebut ketika mereka mengajar di kelasnya serta berdiskusi dengan mereka. Sampai saat ini, penulis masih sering berdiskusi dengan para teman guru SD, SMP, SMA dan SMK di saat mereka mengikuti diklat di PPPPTK Matematika; sehingga wajar rasanya jika penulis mengklaim dirinya sebagai praktisi pendidikan.
Pengalaman menarik pertama yang membuka mata hati penulis berkait dengan tingkat objektivitas penilaian pendidikan terjadi pada sekitar tahun 1994-an. Waktu itu penulis
sedang menatar para guru matematika pada acara PKG tentang penilaian. Penulis meminta para peserta untuk membaca hand-out yang sudah diberikan kepadanya pada waktu luang mereka. Di antara isi hand-out tersebut adalah tentang enam prinsip
penilaian berikut:
1. menyeluruh;
2. berkesinambungan;
3. berorientasi pada tujuan;
4. objektif;
5. terbuka
6. bermakna.
Untuk lebih mengaktifkan para peserta, penulis meminta para peserta untuk mendiskusikan, dari 6 prinsip penilaian tersebut di atas, prinsip manakah yang paling sulit dilaksanakan bapak dan ibu guru matematika di kelasnya?ternyata, hampir semua guru atau kelompok bersepakat bahwa prinsip objekif yang paling sulit di laksanakan Kenyataan ini sebenarnya telah membenarkan keyakinan penulis tentang tidak objektifnya pelaksanaan penilaian yang kita lakukan waktu itu dan mungkin juga sampai saat ini. Padahalnya, prinsip objektif menyatakan bahwa penilaian harus mencerminkan hal yang sebenarnya. Tentunya, prinsip objektif sangat penting. Kalau tidak penting, mengapa harus muncul sebagai salah salah satu prinsip dasar penilaian?
Salah satu faktor penyebab ketidak objektifan penilaian adalah adanya budaya katrol nilai. Jika ada guru yang memberi nilai kurang dari 6,00; maka seorang kepala sekolah
akan meminta guru tersebut untuk menguji ulang siswanya. Bukan hanya itu, kepala sekolah akan bertanya kepada para guru yang memberi nilai kurang dari 6 tersebut beberapa contoh pertanyaan berikut: "Nilainya kurang dari 6,00 ya? Kok bisa? Apa anda mengajar tidak sungguh-sungguh sehingga hasilnya kurang dari 6,00?" Hal seperti ini dapat terjadi berulang-ulang. Pada akhirnya, guru tersebut menjadi malas dan memberi nilai 6 atau lebih. Sang kepala sekolah lalu menjadi senang dengan nilai tersebut, si guru juga menjadi tidak repot lagi untuk menguji ulang siswanya; dan yang terakhir, orang tua si siswa senang dan bangga terhadap prestasi anaknya yang mendapat nilai lebih dari 6. Mereka tidak menyadari jika telah terjadi "peninabobokan" hasil pendidikan. Berdasar tambahan pengakuan teman guru dan kepala sekolah yang jujur lainnya dari lapangan yang membenarkan adanya budaya katrol nilai di sekolah, maka dapatlah disimpulkan bahwa angka 6 di rapor tidaklah mesti berarti bahwa 60% dari materi atau kompetensi yang telah di capai si siswa Kebijakan katrol nilai semakin terasa dengan munculnya istilah ‘kualitas’ (mutu) dan kuantitas’ (pemerataan) pendidikan. Kepala Sekolah lalu menyatakan kepada setiap guru yang memberi nilai jelek dengan kata-kata berikut: "Jika ada lima orang siswa yang tidak naik kelas atau tidak lulus, berarti akan ada lima siswa yang terhalang untuk duduk di kelas di bawahnya. Apakah Anda tega jika ada anak Indonesia yang tidak bersekolah?" Tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut karena keadaannya memang begitu. Namun akibatnya semakin terasa dengan adanya budaya lembek yang menghinggapi sebagian siswa kita. Kenyataan seperti dipaparkan di atas terjadi sebelum adanya ujian berstandar nasional selama bertahun-tahun; termasuk ketika Ebtanas dilaksanakan. Namun ketika Ebtanas dilaksanakan, penambahan nilainya rata dilakukan kepada setiap siswa. Pada waktu itu, di sela-sela diskusi teman guru matematika, terjadi pernyataan seperti ini: "Jika kita menginginkan nilai matematika para siswa minimal 8,00 maka kita paksa pemerintah dan DPR untuk menetapkan nilai kelulusan para siswa adalah 8,00. Toh pemerintah dan DPR akan takut jika banyak siswa yang tidak lulus sehingga nilai matematika kebanyakan siswa akan dapat disulap dengan mudah sehingga mencapai minimal 8,00." Sebagai akibat langsung dari penilaian dan pengujian yang tidak objektif dan sepertinya hanya untuk formalitas saja, sebagian siswa lalu menjadi tidak tahu bahwa dirinya "tidak tahu" dan sebagian orang tua serta masyarakat tidak tahu bahwa putera-puterinya sesungguhnya ‘tidak tahu’. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa selama penulis menjadi guru, siswa yang malas telah berani mengejek temannya yang rajin, meskipun secara sembunyisembunyi, dengan mengatakan: "Untuk apa belajar sungguh-sungguh, toh kita akan naik kelas dan pasti lulus ujian." Lebih parah lagi, ada segelintir kecil guru yang kurang kuat komitmennya terhadap tugas telah berani berkata kepada teman gurunya yang rajin dengan mengatakan: "Untuk apa mengajar dengan sepenuh hati, toh para siswa akan naik dan lulus juga." Sekali lagi, sampai saat ini, mungkin kita tidak pernah menyadari atau pura-pura tidak menyadari, jika telah terjadi "peninabobokan" di bidang pendidikan. Namun ada teman lain yang lebih keras yang menyatakan bahwa telah terjadi “pembodohan” terhadap sebagian putera-puteri warga bangsa kita. Masalah Tidak Objektifnya Penilaian semakin lama, ketidak objektifan penilaian semakin nampak jelas. Artikel Masrul Latif (2007:25-26) menceriterakan fakta-fakta aktual tentang pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2007. Di antaranya:
· tragedi Ngawi di mana seorang Kepala Sekolah yang telah mencuri naskah UN untuk ‘menolong’ siswanya;
· ulah panitia di Sumbawa yang mengirim jawaban UN kepada peserta;
· konspsirasi ala Garut di mana Kepala Sekolah dan teman-temannya memberi jawaban kepada siswanya sekitar 10 menit menjelang ujian;
· kasus komunitas Medan yang melaporkan terjadinya kecurangan pelaksanaan UN;
Beberapa kejadian di atas menunjukkan hanya sebagian kecil puncak gunung es yang tersembul dan terdeksi dari segunung permasalahan pendidikan di Indonesia. Inilah sisa-sisa masa lalu yang masih ada. Lalu, melihat pada beberapa kenyataan seperti yang dilaporkan di atas; seberapa besar ketidak objektifan penilaian pendidikan di Indonesia?
· Mengapa harus takut untuk mengikuti UN?
· Mengapa ada juga siswa yang harus menyerang pengawas UN dari sekolah lain?
· Bukankah POS (SOP) menyatakan bahwa UN harus dilaksanakan secara objektif dan adil?
Pemerintah dan DPR, melalui penetapan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 (Depdiknas, 2005) telah berusaha untuk meningkatkan kualitas dan memberdayakan guru melalui empat program pokok, yaitu:
1. kualifikasi di mana setiap guru harus sudah mengikuti program sarjana atau program diploma empat,
2. kompetensi di mana setiap guru harus memiliki empat kompetensi penting sebagai guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kkompetensi kepribadian , kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang di peroleh melalui pendidikan profesi pengakuan (sertifikasi) bahwa guru tersebut telah memenuhi persyaratan sehingga dapat dinyatakan telah memiliki keempat kompetensi dimaksud yang harus dilaksanakan secara objektif, transparan dan akuntabel; dan bagi yang sudah diakui telah memiliki keempat kompetensi dimaksud dalam bentuk sertifikat berhak mendapat
3. kesejahteraan yang dinyatakan dalam bentuk tunjangan profesi yaitu tambahan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru tersebut.
4. Sampai di sini tidak ada yang salah.
Penulis juga sangat sependapat bahwa empat aspek tersebut saling berkait antara yang satu dengan yang lain sehingga salah satunya tidak akan mungkin untuk diabaikan.
Namun lucunya, pada perkembangan selanjutnya, tes tertulis dan tes kinerja sangat sedikit porsinya pada proses penilaian sertifikasi tersebut. Sebagian besar porsi penilaian adalah dalam bentuk portofolio. Lalu bagaimana para assessornya yakin tentang penguasaan pengetahuan dan keterampilan mengajar para guru jika porsi untuk tes tertulis dan tes kinerja sangat sedikit? Lalu bagaimana pemerintah dapat meyakinkan orang lain bahwa si guru benar-benar sudah kompeten sehingga memiliki hak untuk mendapat sertifikat, sehingga menjadi kewajiban pemerintah untuk mensejahterakan mereka? Asumsinya, dengan kompetensi yang bagus dan kesejahteraan yang memadai sangatlah diharapkan kinerja para guru akan prima, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun sekali lagi,Bagaimana kita dapat meyakinkann diri kita sendiri apalagi orang lain bahwa guru yang di nyatakan kompeten tersebut sudah benar-benar kompeten jika alat penilaian nya saja masih di ragukan.
Apa langkah kita ?
Di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta sering melakukan praktek premanisme yang menghalalkan segala cara, maka bibit-bibit itu telah merambah ke segala segi kehidupan. Guru sudah kehilangan harkat dan martabat gurunya ketika ia hanya menjadi pelaksana dari apa yang diperintahkan atasan langsungnya ke atas. Diakui atau tidak, bibit-bibit KKN itu telah masuk juga ke bidang pendidikan. Contoh yang paling jelas dan nyata adalah peran kepala sekolah ke atas yang jauh lebih banyak menuju ke arah peran administrasi dan keuangan dibandingkan dengan peran kependidikannya. Ambillah contoh kegiatan-kegiatan di sekolah. Apakah memang benar untuk meningkatkan mutu pendidikan? Yang paling jelas dan gamblang adalah ulah para kepala sekolah yang mencuri naskah UN untuk ‘menolong’ siswanya, apakah memang benar untuk meningkatkan mutu pendidikan siswanya? Seharusnya, tugas utama seorang kepala sekolah adalah membantu gurunya memecahkan masalah yang berkait dengan peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya, namun bantuan itu harus sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku serta norma yang ada di masyarakat. Di samping itu, beberapa rombongan pejabat yang datang ke sekolah dan melihat pelaksanaan UN, mungkin saja tidak sempat bertanya dan mungkin juga tidak akan ikut memberikan saran pemecahan permasalahan yang berkait dengan tidak objektifnya penilaian pendidikan nasional di Indonesia.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak objektifnya suatu penilaian pendidikan dan budaya katrol nilai meripakan suatu kesalahan paling besar bangsa ini yang mungkin tidak akan terampuni untuk masadepan bangsa kita.
Di samping itu, kita sudah mengetahui bahwa perangkat atau piranti lunak berupa peraturan sudah ditetapkan pemerintah. Termasuk di dalamnya apa yang disebut dengan istilah POS (SOP). Namun harus diakui tentang lemahnya penerapan peraturan tersebut. Tidak sedikit para pelaksana dan pengelola pendidikan yang melakukan jalan pintas, dengan tidak menaati peraturan yang ada, yang pada akhirnya akan sangat merugikan siswa dan bangsa kita. Namun yang pasti, merubah sikap beberapa sekolah dan kepala
sekolah ke arah yang lebih bersih, berbudaya, akuntabel dan taat hukum tidaklah semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan kepala sekolah yang memiliki kompetensi kepribadian, sosial dan pedagogik yang prima. Idealnya, hanya guru yang benar-benar guru terbaiklah yang dapat menduduki jabatan kepala sekolah. selanjutnya, hanya kepala sekolah yang benar-benar kepala sekolah terbaiklah yang pantas menduduki jabatan pengawas. Alasannya, guru terbaik akan mampu membantu guru dengan memberi saran pemecahan masalah yang ada di kelas yang dialami gurunya, sehingga tepat rasanya untuk diberi kepercayaan dan kehormatan menjadi kepala sekolah. Selanjutya, kepala sekolah terbaik akan mampu membantu kepala sekolah lainnya dengan memberi saran pemecahan masalah yang ada di suatu sekolah; sehingga tepat dan pantas rasanya untuk diberi kehormatan menjadi pengawas. Dengan munculnya kepala sekolah dan pengawas terbaik, diharapkan mutu pendidikan di Indonesia akan semakin baik sejalan dengan berkembangnya waktu. Belajar dari praktek pembelajaran di kelas dan pelaksanaan UN, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan, mau tidak mau, penilaian harus dilakukan mengikuti sembilan prinsip penilaian terbaru (Depdiknas:2007), yaitu: sahih, objektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh dan berkesinambungan, sistematis, beracuan kriteria dan akuntabel. Karena itu, idealnya, budaya katrol nilai harus benarbenar bersih dari sekolah. Hal ini menjadi tugas utama para kepala sekolah dan harus dibantu dan didukung para pengawas, inspektur atau auditor pendidikan yang berwibawa dan bersih. Dengan diangkatnya kepala sekolah yang merupakan guru terbaik dan pengawas yang merupakan kepala sekolah terbaik; diharapkan prinsip-prinsip penilaian pendidikan yang ditetapkan pemerintah dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bertahap dan berkesinambungan. Berkait dengan sertifikasi guru, penulis yang bukan pakar penilaian, namun hanya seorang praktisi pendidikan matematika saja sudah merasa ada yang aneh pada proses sertifikasi guru ini; terutama pada cara penilaiannya. Sekali lagi, jika alat ukur sertifikasinya saja sudah diragukan kesahihannya, lalu apa yang dapat diharapkan dari hasilnya? Tidak salah jika ada teman guru yang lalu menyimpulkan bahwa proses sertifikasi kali ini lebih langsung ke arah kesejahteraan dan bukan ke arah kualitas dan kompetensi dahulu baru setelah itu ke arah kesejahteraan para guru sebagaimana yang dituntut undang-undang. Kalau itu yang dikehendaki pemerintah; sebetulnya hal seperti itu sah-sah saja, namun seharusnya sudah direncanakan dengan matang, bertahap dan berencana sejak awal. Dalam kasus sertifikasi guru ini, nampaknya telah terjadi perubahan mendadak di tengah jalan. Kalau memang direncanakan sejak awal bahwa arahnya akan lebih ke kesejahteraan guru, mungkin program yang ada di UU tidak akan seperti itu. Namun paling tidak masih ada harapan bahwa dengan fokus ke kesejahteraan, kita semua berharap bahwa pada masa-masa yang akan datang, dengan kesejahteraan guru yang makin meningkat, akan menarik perhatian para lulusan SMA dengan kualitas menengah ke atas sehingga mereka tertarik menjadi guru dan akan membanjiri LPTK-LPTK ternama di Indonesia. Dalam arti, tidak semua lulusan terbaik SMA akan memilih fakultas favorit seperti kedokteran dan teknik. Namun ada sebagian dari mereka yang memilih LPTK. Sekali lagi, hal yang dilakukan pemerintah seperti itu sah-sah saja. Namun pada proses sertifikasi guru ini, kelihatannya terjadi tarik ulur hebat antara para pengambil keputusan di Jakarta untuk mendahulukan kesejahteraan guru daripada meningkatkan mutu atau kompetensi guru. 
Apa Tantangan Depdiknas?
Penulis sebagai praktisi pendidikan matematika berpendapat dan meyakini bahwa para pengambil keputusan di Jakarta kadang-kadang sepertinya terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan. Contoh konkretnya adalah sertifikasi guru. Mencermati pelaksanaan sertifikasi, pertanyaan yang muncul adalah: Apakah sejak awal kita sudah memperhitungkan para guru SD yang belum memiliki kualifikasi sarjana dan diploma empat? Seberapa banyak mereka? Lalu bagaimana dengan guru yang bertugas di kota Kabupaten ke bawah? Seberapa banyak mereka? Bagaimana dengan guru di luar Jawa? Seberapa banyak mereka? Apakah kita sudah memperhitungkan jika hasil sertifikasi menunjukkan bahwa akan banyak guru yang tidak berhak memperoleh sertifikasi?
Apakah tidak akan terjadi kecemburuan di antara para guru? Hal seperti itu sepertinya tidak akan terjadi di negara maju seperti Inggris. Kebijakan pendidikan di Inggris dan negara maju lainnya akan selalu didasarkan pada hasil riset yang tangguh dan memiliki dasar yang sangat kuat untuk berpijak sehingga tidak ada peluang untuk membantah kebenaran isi dan kesahihan kesimpulannya. Penulis tidak tahu, mengapa hal seperti itu tidak terjadi di Indonesia. Kembali ke pertanyaan di awal artikel ini: "Apakah dengan adanya UU Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 maka upaya untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah, sebagaimana tercantum pada visi pendidikan, akan semakin mendekati kenyataan?" Berkaca pada pelaksanaan penilaian pada periode-periode sebelumnya, jawabannya sudah sangat jelas, yaitu: "Tergantung pada para pelaksana dan pelaksanaannya di lapangan." Pertanyaan selanjutnya adalah: "Yakinkah kita bahwa peraturan tersebut akan terlaksana di lapangan? Bagaimana caranya meyakinkan diri kita sendiri dan orang lain bahwa peraturan tersebut akan terlaksana di lapangan?"
Selain itu, perubahan yang kita lakukan menurut hemat penulis tidak terlalu mendasar. Ketika terjadi perubahan dari Kurikulum 1994 ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) lalu ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sepertinya akan  ada perubahan yang sangat hebat. Padahalnya, seberapa besar sih perubahannya di lapangan? Penulis hanya melihat perubahan tersebut lebih banyak hanya pada peristilahan saja. Tidak ada yang mendasar. Contoh jelasnya adalah enam prinsip penilaian yang tertuang pada Kurikulum 1994 ternyata sudah bertambah menjadi sembilan prinsip penilaian pada Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007. Pertanyaannya, apakah dengan perubahan tersebut akan mengakibatkan adanya perubahan mendasar yang dibutuhkan bangsa ini? Apakah dengan perubahan prinsip penilaian tersebut akan menjadikan proses penilaian pendidikan di Indonesia akan menjadi lebih objektif sesuai dengan tuntutan untuk memenangkan persaingan global dengan bangsa lain  yang akan berlangsung semakin ketat dan keras? Jika pelaksanaan penilaian pendidikan tidak menjadi lebih objektif, lalu apakah visi pendidikan untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah akan semakin mendekati kenyataan? Ataukah kita akan sekali lagi berkata bahwa kita lemah pada pelaksanaan peraturannya? Pada akhirnya memang dibutuhkan kearifan dan kehati-hatian dalam mengarahkan pendidikan kita sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan disegani. Namun sekali lagi, apakah hal seperti itu akan terlaksana jika pemerintah sepertinya terlalu tergesa-gesa mengambil kebijakan dan keputusan, sehingga keputusannya jauh dari kesan mendasar, menyeluruh, berencana dan hati-hati? Mungkin inilah salah satu masalah terbesar yang akan menjadi pekerjaan rumah Depdiknas di masa-masa yang akan datang.
Penutup
Penulis sangat bersyukur dan mendukung adanya BSNP. Salah satu hasil positif yang menggembirakan dari badan tersebut adalah adanya peristilahan yang lebih baku (standar) di dunia pendidikan kita. Harapan selanjutnya, peristilahan yang sudah lebih baku tersebut tidak terlalu dirubah-rubah sehingga peristilahan tersebut menjadi lebih stabil di benak guru. Permasalahan pendidikan kita adalah tidak atau kurang terlaksananya peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Contohnya adalah pada tidak objektifnya penilaian baik di sekolah, pada pelaksanaan UN dan juga pada program penyetaraan guru. Di samping itu, kebijakan yang ada terkesan tergesa-gesa diputuskan. Contohnya adalah pada program sertifikasi guru. Undang-undangnya sudah jelas menyatakan bahwa seorang guru berhak mendapatkan kesejahteraan jika ia sudah memenuhi kualifikasi dan sudah mendapat sertifikasi (pengakuan) bahwa ia telah memiliki empat kompetensi yang disyaratkan. Namun pada perjalanan waktu, sepertinya pelaksaaan sertifikasi guru lebih langsung mengarah kepada kesejahteraan guru. Hal ini ditandai dengan terlalu sedikitnya porsi tes tertulis dan tes kinerja. 
Menurut penulis, inilah dua tantangan Depdiknas pada masa kini dan pada masa-masa yang akan datang. Artinya, dua hal tersebut tidak sepantasnya terjadi lagi pada masa-masa yang akan datang. Sangat berat namun mulia. Bukankah kita sudah sepakat untuk berjuang menggapai visi pendidikan yang ada dengan gemilang?

Comment
Tidak objektifnya hasil penilaian suatu hasil proses pembalajaran masih merupakan budaya bagi para guru – guru dan kepala sekolah yang merupakan cara instan untuk menutupi kebobrokan mutu pendidikan mereka sehingga terlihat baik di mata setiap pengamat pendidikan.
Memang UAN merupakan hal mutlak dan tolok ukur untuk keberhasilan pihak sekolah maupun para murid setelah mendapatkan proses pembelajaran. Banyak sekali kasus yang berhubungan dengan para guru dan kepala sekolah yang mencoba menolong siswa nya dalam menghadapi UAN merupakan hal yang tidak di benarkan.
Dalam hal program sertifikasi guru yang menyangkut tentang kompetensi yang di miliki dengan tingkat kesejahteraan guru diharapkan pemerintah melakukan tindakan dengan maksimal agar semua berjalan sesuai rencana yang telah di susun dengan baik.
Kesejahteraan guru memang harus kita utamakan agar para guru bekerja dengan nyaman tanpa memperdulikan hal – hal sepele yang menyangkut soal biaya kehidupan. Jika seorang guru ingin mensejahterakan hidup nya seorang guru harus lulus dan mempunyai sertifikasi yang di lakukan oleh badan pendidikan terkait, menurut saya itu merupakan cara terbaik yang memang harus di lakukan oleh badan pendidikan, yang tidak lulus sertifikasi berarti memang ia tidak mempunyai kompetensi yang sudah di tetapkan.Dalam Melaksanakan sertifikasi seorang guru diharapkan pemerintah memperbanyak tes kompetensi seperti mikro teaching karena yang dibutuhkan seorang sisiwa tidak hanya guru yang pintar untuk dirinya tetapi seorang guru yang mampu mengajar dengan baik dan mampu menyampaikan sebuah materi pelajaran atau mentrasfer ilmu kepada setiap anak didik nya. Banyak sekali terlihat seorang guru yang pintar tetapi ia tidak pandai dalam memanajemen kelas dengan membangun suasana sehingga seorang siswa mampu mengerti apa yang di sampaikan oleh guru tersebut.

STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN

27 Agustus 2009
Pengelolaan Dana Investasi Sekolah Kurang Optimal
Standard Pengelolaan Pendidikan, Bidang Keuangan dan Pembiayaan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (Permendiknas No. 19 Tahun 2007) yaitu : Butir b, 4 bahwa “pembukuan semua penerimaan dan pengeluaran serta penggunaan anggaran, untuk dilaporkan kepada komite sekolah/madrasah, serta institusi di atasanya”; Butir d bahwa “ pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah/madrasah untuk menjamin tercapainya pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel”.

Kurang transparannya pengelolaan keuangan sekolah, berpotensi terjadinya penyalahgunaan dana investasi sekolah untuk kepentingan pribadi atau oknum-oknum tertentu dalam lingkungan lembaga pendidikan. Oknum-oknum tersebut adalah kepala sekolah, bendahara sekolah dan komite sekolah. Sementara warga sekolah yang lain seperti guru, karyawan, siswa dan masyarakat tidak bisa berbuat banyak. Sehingga sering mendapatkan kritik pedas dari warga masyarakat yang peduli dengan dunia pendidikan. Namun kritikan tersebut membuat oknum tidak menjadi gentar, tetapi malahan semakin merajalela karena masyarakat dianggapnya bodoh dan tidak tahu manajemen keuangan.

Peran Komite Sekolah..
Pembentukan Komite Sekolah didasarkan pada UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas). Kemudian dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan No. 044/U/2002 yang merupakan acuan pembentukan komite sekolah. Prinsip dari pembentukan komite sekolah didasarkan pada prakarsa masyarakat yang peduli pendidikan. Peran komite sekolah adalah melakukan evaluasi dan pengawasan dalam pengelolaan dana sekolah dan bersama pihak sekolah melaporkan serta mempertanggungjawabkan kepada otoritas yang lebih tinggi dan masyarakat umum. Namun peran komite lebih condong/memihak pada sekolah dari pada membela kepentingan siswa dan masyarakat.

Program Sekolah Gratis...
Digulirkannya program sekolah gratis untuk SD dan SMP Negeri mulai Januari 2009, membuat pihak sekolah berteriak-teriak lantang dengan alasan dana yang alokasikan pemerintah tidak cukup. Padahal pemerintah sudah memperhitungkan dengan seksama bahwa dana tersebut cukup untuk biaya operasional pendidikan. Mereka yang berteriak-teriak itu adalah oknum yang sudah biasa menikmati dana investasi sekolah. Sebelum digulirkan program sekolah gratis, dana investasi sekolah bisa untuk bancakan oknum-oknum di sekolah dan sekarang oknum-oknum tersebut gigit jari sambil menahan nyerinya sakit kepala.

Beberapa Kegiatan Ditiadakan...
Akhirnya kegiatan-kegiatan yang dianggap tidak penting ditiadakan dengan alasan dana tidak ada. Padahal kegiatan tersesbut sangat disukai siswa seperti ekstrakurikuler Pramuka, PMR, KIR, Komputer dan lain sebagainya. Sehingga siswa hanya dijejali ilmu-ilmu yang bersifat pengetahuan (kognitif). Pembelajaran dari aspek afektif dan psikomotorik tidak pernah tersentuh, dengan demikian siswa mengalami kejenuhan, bosan, dan tidak nyaman lagi di sekolah. Tentunya siswa mudah terserang stress, depresi, tertekan dan mudah tersinggung. Didalam kelas siswa biasa berkelai, melawan guru atau menciptakan kesibukan sendiri dari pada mendengarkan mengikuti pelajaran. Siswa mestinya memecahkan suatu masalah dalam pelajaran tetapi siswa sekarang lebih senang memecahkan kaca-kaca jendela kelas.

Metode Pembelajaran...
Guru-guru Indonesia belum mampu berkompetensi dalam era pengetahuan. Guru lebih banyak menjadi konsumen dari pada produsen, sehingga kualitas pembelajaran pada perserta didik tidak siap, ungkap Prof. Amat Mukhadis pada seminar bertema “Inovasi Pembelajaran pada Pendidikan Dasar untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran dan Mutu Sertifikasi Guru” (Suara Merdeka, 15 Juni 2009).

Departemen Pendidikan Nasional akan merumuskan 3 kompetensi kunci untuk melengkapi system kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang saat ini sedang diimplementasikan di sekolah-sekolah. E-learning adalah model pembelajaran elektronik, yang mengusung teknologi digital sebagai medium utama proses pembelajarannya. E-learning juga disebut sebagai bentuk pembelajaran yang diperkaya oleh teknologi digital. Penguasaan Teknologi Informasi tunjang profesionalitas guru. Peran TI sangat strategis untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar di kelas maupun dalam bidang majemen system pendidikan (Suara Merdeka, 28 Januari 2009).

Penggalan-penggalan tulisan tersebut menunjukan bahwa baik-buruknya kualitas pendidikan seolah-olah ditentukan pada metode yang dipakai guru dalam mengajar. Tak henti-hentinya pakar-pakar pendidikan berteriak lantang menyuarakan pentingnya metode pembelajaran. Guru selalu menjadi obyek penderita bagi dunia pendidikan. Guru selalu pada pihak yang lemah namun dituntut harus menjadi seorang hero yang mampu merubah bangsa yang terbelakang menjadi bangsa yang superior.

Mengapa hanya metode pembelajaran yang jadi obyek.
Pakar pendidikan lupa bahwa pendidikan tidak hanya metode mengajar, tetapi yang tidak kalah penting adalah Standard Pengelolaan Pendidikan, Bidang Keuangan dan Pembiayaan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (Permendiknas No. 19 Tahun 2007).

Kurang transparannya pengelolaan keuangan sekolah, khususnya untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, sering diteriakan masyarakat melalui media masa. Tidak transparannya pengelolaan keuangan, berakibat banyak dana investasi pendidikan yang tidak sesuai peruntukannya. Guru dan karyawan diharuskan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang tidak diberi uang imbalan, sehingga guru tersebut manjadi malas bekerja dan tidak produktif. Fasilitas pendidikan dan alat peraga pembelajaran tidak pernah diadakan, sehingga pembelajaran hanya berkisar tulis-menulis yang monoton dan membosankan siswa.

Kemana larinya dana pendidikan..
Yang tahu larinya dana pendidikan adalah bendahara sekolah dan oknum yang lain. Sementara guru, siswa dan masyarakat tidak tahu, karena tidak adanya laporan dana investasi secara transparan. Sementara peran komite terdistorsi (peran dan fungsi komite membuat kepercayaan masyarakat semakin tipis). Seolah-olah peran komite sebagai pengacaranya sekolah atau selalu berpihak pada sekolah (Suara Merdeka, 19 Pebruari 2009).

Mungkin dugaan masyarakat itu ada benarnya, bahwa dana pendidikan ada yang disalahgunakan. Kalau memang benar mestinya peran penegak hukum sangat diharapkan untuk menertibkan sekolah-sekolah dalam penggunaan dana pendidikan. Kenyataan di lapangan, bahwa tak satupun sekolah yang di audit baik oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) maupun BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan).

Dana investasi Sekolah...
Dana investasi sekolah sangatlah cukup untuk kemajuan pendidikan. Sumber dana investasi berupa BOS dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dana rutin dari pemerintah dan dana dari donatur. Pada sekolah setingkat SLTP dengan jumlah 480 siswa, satu tahun bisa terkumpul dana investasi tidak kurang dari 500 juta. Namun sekolah tersebut tidak ada tambahan fasilitas pendidikan yang berarti dan guru semakin tidak produktif karena tidak pernah menikmati hasil kerja kerasnya alias guru hanya kerja gotong-royong seperti relawan.

Apabila pengelolaan dana investasi sekolah benar-benar sesuai peruntukannya, sekolah-sekolah di Indonesia sudah lebih maju dan mampu bersaing dengan dunia pendidikan di Negara-negara Eropa. Namun sebaliknya, pelajar Indonesia sekarang ini sangat jauh ketinggalan alias gaptek (gagap teknologi) dengan negara-negara Eropa. Berarti salah satu yang menghambat kemajuan pendidikan Indonesia adalah pengelolaan dana investasi pendidikan kurang optimal.

Penulis Asim Sulistyo, S.Pd.
Pemerhati Pendidikan
Tinggal di Krakitan, Bayat, Klaten
Diposkan oleh BLOG OSIS ESTIB di 12:59
Label: Dana Pendd Tak Optimal

Comment
Mengenai dana investasi pemerintah terhadap sekolah –sekolah yang entah kemana larinya?? Atau mungkin uang seperti itu mempunyai mata sehingga ia dapat melarikan diri dari sang punya??.
Masalah tersebut merupakan masalah yang sulit untuk di atasi oleh setiap manusia tidak hanya menjadi tugas pemerintah tetapi juga manusia tersebut harus sadar bahwa tindakan yang dilakukan nya salah dan dapat berdampak buruk bagi pendidikan indonesia.
Pemerintah telah berusaha memberikan bantuan untuk sekolah – sekolah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di indonesia tetapi oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab berperan aktif dalam hal ini.
Seharusnya yang dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan dana pendidikan di setiap sekolah, baik pengeluaran maupun pemasukan ialah bendahara sekolah dan komite sekolah yang mempunyai tugas mengawasi setiap dana yang ada di sekolah tersebut. Dan jabatan tersebut harus di tempati oleh orang – orang yang mempunyai jiwa dan hati yang besar serta jujur dalam segala sesuatuya agar dana pendidikan yang seharusnya dapat dijadikan untuk dana memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan tidak masuk ke kantong – kantong tikus pendidikan.
Jika kegiatan – kegiatan di sekolah ditiadakan oleh sekolah tersebut yang dikarenakan kurang nya dana untuk melakukan kegiatan tersebut, itu merupakan tanda bahwa ada yang tidak masuk akal mengenai dana pendidikan di sekolah tersebut dan ada beberapa tikus pendidikan di sekolah tersebut.
Hampir setiap sekolah di Indonesia memungut biaya kepada setiap muridnya, pemerintah juga memberikan bantuan dana kepada sekolah tersebut, entah berapa banyak uang yang terkumpul??. Seharusnya dengan uang tersebut sekolah – sekolah dapat memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan di sekolah tersebut atau dana tersebut di alokasi kan untuk kegiatan – kegiatan yang bermanfaat bagi muridnya. Sehingga setiap murid dapat menjalani pendidikan di sekolah tersebut dengan rasa suka cita yang dapat menimbulkan rangsangan untuk belajar dan terus belajar yang dapat meningkatkan prestasi murid dan sekolah tersebut.

STANDAR KOMPETENSI KELULUSAN

Perbaikan Standar Isi Berdasaran SKL
Ditulis 7 September 2009 pukul 07:14 oleh admin
Mengapa Kurikulum Perlu Berubah?
Dunia sekeliling siswa berubah tiap saat. Kebutuhan peningkatan kompetensi siswa berkembang searah dengan tantangan pengembangan perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah melahirkan jenis-jenis pekerjaan baru yang tidak dapat diduga jauh sebelumnya.
Perubahan kurikulum itu dipandang perlu untuk meraih target pencapaian tujuan yang lebih baik. Fokus pencapaiannya ialah meningkatkan kesiapan siswa melanjutkan pendidikan dan mempersiapkan mereka agar dapat hidup mandiri. Lebih dari itu perubahan kurikulum diperlukan untuk meningkatkan  daya saing sekolah dalam menghasilkan mutu lulusan yang  lebih baik. Produknya adalah citra sekolah sebagai pemberi pelayanan adaptif terhadap perubahan jaman demi memuaskan siswa.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan industri telah menghasilkan berbagai jenis pekerjaan yang baru. Interaksi antar bangsa yang diintegrasikan oleh teknologi informasi dan komunikasi serta pesatnya perkembangan alat transportasi telah mempercepat perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Bersamaan dengan itu perlombaan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri telah mempercepat perubahan dalam segala bidang sehingga kehidupan berada pada daya kompetisi yang semakin ketat. Lembaga pendidikan jauh tertinggal di belakang perkembangan industri yang bergerak dengan dukungan inovasi tanpa henti.
Menghadapi tantangan seperti itu, maka tak ada pilihan bagi pendidikan selain melakukan perubahan yang lebih cepat lagi. Hal ini agar pendidikan tidak semakin jauh berada di belakang, pelayanan pendidikan perlu menyesuaikan dengan perkembangan dunia kerja. Sekalipun siswa menghadapi  ketidakpastian yang semakin tinggi karena tidak seluruh pekerjaan masa depan dapat diprediksi. Berbagai inovasi perlu terus dikembangkan dalam rangka menuju perubahan ke arah pengembangan yang dapat mestimulasi lahirnya gagasan baru untuk mampu menghadapi tantangan pekerjaan yang ada. Keterampilan beradaptasi dan ekuatan tersembunyi  (hidden life skill) yang baru muncul tatkala orang terjepit masalah perlu diasah melalui berbagai simulasi. Perlu terus dikembangkan keterampilan berpikir kritis dan kecerdasan emosional agar dapat  mengembangkan cara, ide, dan teknik baru dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

Jenis Pekerjaan Baru Bermunculan dan Segera Menjadi Usang
Meningkatnya perang teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan modern telah melahirkan banyak jenis pekerjaan baru. Berbagai jenis pekerjaan muncul tanpa dapat diprediksi sebelumnya. Beberapa contoh diantaranya nada dering  handphone, kios penjual pulsa, dan berbagai usaha berbasis SMS.
Perdagangan berbasis internet kini tumbuh pesat di seluruh dunia. Ratusan ribu orang berinteraksi dalam denyut komunitas perdagangan dunia mengalahkan volume pasar mana pun. Transaksi berbagai hal melalui internet telah menggerakkan berbagai moda angkutan, baik pesawat, kereta api, truk-truk pendistribusi barang dari satu tempat ke tempat lain. Transaksi finansial dalam bentuk pertukaran uang dapat dikendalikan dari rumah, kantor, bahkan dari jalan-jalan yang diregulasi oleh bank berbasis elektronik. Bahkan bank percaya untuk menyerahkan uang kepada pengunjung gerai ATM tanpa keraguan.
Lima tahun lalu banyak jenis pekerjaan yang belum ada, namun belakangan menjadi model-model pekerjaan baru yang muncul dengan cepat dan tingkat kebaruannnya akan habis dalam waktu yang cepat karena muncul jenis pekerjaan baru yang lainnya. Fenomena ini menegaskan bahwa sekolah harus dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan karena segala sesuatu dalam kehidupan kita, tak ada kecuali mengalami perubahan. Bahkan model perubahan pun dengan cepat pula berubah.
Daya Adaptasi Sekolah
Daya adaptasi sekolah dalam mengimbangi kecepatan perubahan peradaban seperti pada perkembangan penerapan teknologi informasi dan komunikasi bergantung pada kapasitas tiap individu maupun  kelompok komunitas warga sekolah dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan menerapkan ilmu pengetahuan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan penguasaan keterampilan terbaik secara berkelanjutan telah menjadi variabel utama penunjang daya ubah sekolah. Kegiatan belajar warga sekolah menjadi sentral kekuatan utama yang menjadi daya pengubah.  Sekolah yang efektif adalah sekolah yang dapat menjadi sebuah organisasi belajar. Proses pergerakannya tidak hanya datang karena untuk menyesuaikan dengan tantangan dari luar, namun pergerakan belajar menjadi inti keseimbangan dalam melaksanakan perubahan yang tumbuh dari dalam karena warga sekolah membangun kultur belajar berkelanjutan.
Kompetensi baru tumbuh dan berkembang untuk saling berkompetisi guna memperoleh citra terbaik, dan kebaikannya segera akan digantikan pula oleh produk baru lain yang lebih baik. Inovasi tumbuh pada komponen sistem yang berkembang secara bertahap namun pasti telah melahirkan banyak hal yang tidak pernah terduga sebelumnya. Teknologi baru seperti pada handphone datang silih berganti dalam waktu cepat, tidak lagi dalam hitungan tahun, namun bulan bahkan dapat lebih cepat daripada itu.
Perubahan Kurikulum dan Pendayagunaan Teknologi
Substansi permasalahan yang sekolah hadapi pada penyempurnaan kurikulum adalah merumuskan profil kompetensi lulusan seperti apa yang sekolah harapkan? Masalahnya pengembangan kurikulum pada hakekatnya ada pada tiap disiplin ilmu. Kompetensinya menyangkut pengetahuan seperti apa yang sebaiknya siswa kuasai, keterampilan apa dan setinggi apa yang sebaiknya siswa kuasai pada tiap mata pelajaran. Untuk mendukung pengetahuan dan keterampilan itu, guru mempertimbangkan materi belajar, dukungan teknologi apa yang sebaiknya siswa gunakan, sumber belajar, metode belajar, dan alat evaluasi yang guru gunakan. Hasil observasi sekolah menunjukkan bahwa kepala sekolah belum efektif mengontrol hal ini. Guru-guru pada umumnya tidak terkondisikan secara professional untuk melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada pencapaian standar.
Dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi sekolah idealnya sekolah dapat mengembangkan pemikiran tentang bagaimana teknologi dapat membantu guru dalam meningkatkan keunggulan-keunggulan dalam perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, dan evaluasi belajar. Hal ini berkaitan dengan dukungan teknologi pada fungsi manajemen belajar. Asalkan hal ini termonitor dan setiap target yang hendak dicapai telah disepakati bersama.
Dukungan teknologi juga berkaitan erat dengan bagaimana penggunaannya efektivitas penguasaan materi belajar oleh siswa. Hal itu berkaitan dengan teknologi sebagai sumber belajar, teknologi sebagai media belajar, teknologi sebagai alat bantu mengolah informasi belajar, teknologi sebagai alat untuk mendokumentasikan hasil belajar  dan media untuk menunjukkan hasil belajar.
Dari pengalaman penggunaan teknologi di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa sekolah yang semakin modern telah semakin banyak menggunakan teknologi untuk memamerkan kebolehan siswa. Pengetahuan yang siswa peroleh maupun keterampilan yang dapat siswa tunjukkan terlihat dan dipamerkan melalui berbagai media termasuk melalui internet.
Sejalan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi strategi pembelajaran pun mengalami perubahan. Teknologi telah memberikan dukungan yang sangat besar terhadap peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan, meningkatkan motivasi guru dan siswa belajar, dan yang tidak kalah penting teknologi telah memberikan peluang melakukan pengulangan belajar sebagai syarat dalam penyempurnaan penguasaan siswa sesuai dengan rancangan kurikulum.
Penyempurnaan KTSP Berbasis Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
Pemamparan di atas mengindikasikan bahwa perbaikan mutu kurikulum yang biasa sekolah lakukan dalam bentuk penyempurnaan perencanaan pembelajaran terutama menyangkut perbaikan Silabus dan RPP meliputi aktivitas peningkatan standar penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dalam realitas kedupan perlu dilakukan tiap tahun. Selebihnya pernyempurnaan itu pada dasarnya harus dapat mendorong siswa agar lebih berdisiplin dan memastikan tumbuhnya penguasaan ilmu dan menerapkan ilmu melalui bergagai langkah di bawah ini :
· Pembaharuan profil lulusan. Hal utama yang perlu sekolah perhatikan adalah standar lulusan. Profil lulusan yang ideal adalah lulusan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan perubahan peradaban, sesuai dengan tantangan jaman secara global. Keberhasilannya ditunjukkan dengan indikator output  dalam bentuk produk kreasi siswa, daya kompetisi, daya kolaborasi, tingkat nilai kelulusan, jumlah siswa yang dapat melanjutkan, lolos seleksi pada sekolah lanjutan bermutu menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Indikator kinerja itu juga buah dari perbaikan pekerjaan. Sekolah memiliki data perkembangan mutu produknya atas hasil evaluasi diri yang dilaksanakan untuk mengukur pencapaian program.
· Penyempurnaan indikator belajar. Indikator hasil belajar perlu disesuaikan dengan standar mutu lulusan yang diharapkan. Indikator belajar pada dasarnya mencakup penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan menerapkan ilmu pengetahuan yang terintegrasi pada level berpikir dan tindakan. Tingkat kecukupan standar yang sekolah tetapkan pada prinsipnya dielaborasi pada tiap disiplin ilmu. Dasar pertimbangannya adalah  pengetahuan yang siswa kuasai sesuai dengan kebutuhannya untuk mengikuti ujian nasional, mengikuti seleksi pendidikan lanjutan yang menjadi target siswa, dan sesuai untuk berkompetisi pada taraf nasional dan internasional. Kompetensi siswa dalam menguasai materi belajar dan bagaimana menunjukkan hasil belajar merupakan komponen penting yang selalu perlu menjadi perhatian guru.
· Penyempurnaan tujuan belajar. Penyempurnaan atau perbaikan indikator belajar siswa pada hakekatnya mencerminkan target-target pencapaian tujuan belajar. Secara akademik puncak dari keberhasilan siswa adalah kriteria ketuntasan minimal (KKM), target rata-rata pencapaian nilai ujian, mutu kejuaraan dalam kompetisi, dan jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan. Pada pendidikan tinggi ukuran ditambah dengan jumlah lulusan yang memperoleh atau menciptakan pekerjaan. Indikator pencapaian hasil belajar pada prinsipnya muncul dalam bentuk nilai, dalam bentuk hasil karya  menerapkan ilmu pengetahuan, bentuk hasil karya kreatif seperti dalam bidang seni, hasil karya prestasi keterampilan seperti dalam bidang olah raga, dan sikap yang sesuai dengan kriteria yang sekolah harapkan.
· Penyempurnaan materi pelajaran. Tujuan belajar yang digambarkan dengan profil mutu lulusan menentukan jenis dan kedalaman materi pada setiap sekolah. Standar tiap sekolah dapat berbeda karena harus sesuai dengan  karakteristik siswa. Tingkat ketersediaan materi, kemudahan untuk memperoleh informasi, tingkat ketersediaan buku, merupakan beberapa variable yang berkaitan dengan sumber belajar. Di samping itu, tinggi rendahnya target siswa belajar, tingkat persaingan belajar yang sekolah kembangkan, kemampuan sekolah menyediakan informasi terbaru dapat mempengaruhi tinggi rendahnya pengetahuan dan minat siswa belajar. Oleh karena itu guru pada tingkat satuan pendidikan yang paling tahu untuk menentukan batas tingkat kedalaman dan keluasan materi belajar yang paling sesuai dengan potensi daya kembang siswa. Pada sekolah yang siswanya terlatih menguasai informasi secara progresif melalui siklus belajar eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi yang dilakukan secara kolaborasi dan secara mandiri dapat menentukan target standar yang tinggi. Sebaliknya pada sekolah-sekolah yang siswanya memiliki tingkat pembiasaan belajar mandiri yang rendah target mereka pun rendah pula.
· Penyempurnaan perencanaan proses pembelajaran. Belajar merupakan serangkaian aktivitas menguasai informasi tentang dunia, dan otak menyimpan informasi itu dari waktu ke waktu. Tidak ada proses penyimpanan informasi tanpa belajar, tetapi tak ada kegiatan belajar tanpa penyimpanan informasi, ini dinyatakan oleh Eric R. Kandel Pemenang Hadiah Nobel bidang Psikologi (www.aarp.org/health/brain/works/what_is_learning.html, 2009)..
· Penyempurnaan metode dan media belajar. Dengan bekal pemahaman guru mengenai target belajar yang hendak diwujudkannya yang dirancang dalam kriteria yang terukur,  guru menguasai strategi pembelajaran. Ketersedian teknologi sebagai pendukung sistem informasi pembelajaran, sumber belajar siswa, dan media belajar siswa sangat menentukan jenis strategi pembelajaran yang guru terapkan dalam kelas.  Yang perlu diperhatikan di sini ialah teknologi merupakan alat untuk meningkatkan minat belajar siswa sehingga mereka mau belajar, teknologi membantu guru mewadahi kepentingan belajar sesuai dengan tipe siswa belajar, dan teknologi mewadahi kepentingan siswa untuk menerapkan ilmu pengetahuannya  ke dalam aktivitas hidup yang nyata dan kontekstual. Dengan bantuan teknologi seorang siswa menjadi lebih mudah menghitung, lebih mudah menggambar, lebih mudah memetakan dan lebih mudah memamerkan hasil belajarnya. Dengan bantuan teknologi pula guru dapat lebih mudah mengarsipkan hasil belajar siswa, sehingga hasil karya terbaik siswa pada satu tahun dapat menjadi rujukan mutu pada tahun berikutnya sehingga guru dapat dengan mudah pula menggunakan hasil belajar siswa melalui benchmark internal.
· Penyempurnaan sumber belajar. Informasi adalah energi belajar. Tanpa informasi yang siswa serap tidak ada proses pembelajaran. Sekolah unggul memiliki pusat sumber belajar yang memenuhi kebutuhan siswa belajar. Informasi yang tersedia di pusat sumber belajar selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan kebutuhan siswa. Pusat sumber belajar belajar tidak selalu dalam bentuk perpustakaan, di dalamnya tersedia berbagai handouts bimbingan belajar, panduan meningkatkan keterampilan, panduan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan merumuskan masalah dari buku, kemampuan merumuskan masalah dari catatan sehari-hari dalam kelas, flashcards, video dan sejumlah referensi yang mendukung peningkatan kinerja belajar siswa. Hal penting dalam era penggunaan teknologi informasi saat ini pusat sumber belajar yang paling penting adalah akses internet yang dapat siswa gunakan setiap saat. Atas perkembangan ini maka guru perlu memperbaharui sumber belajar yang siswa gunakan ada selalu menggunakan informasi yang up to date.
· Penyempurnaan penilaian. Dengan mendayagunakan teknologi guru dapat menggunakan teknik dan alat penilaian yang variatif dan paling relevan dengan kompetensi yang hendak diukur. Dengan demikian teknologi dapat membantu guru dalam meningkatkan validitas dan reliabilitas sistem penilaian. Yang tidak kalah penting juga guru dapat menggunakan teknologi dalam merekam hasil belajar siswa. Dengan bantuan teknologi pula pada dasarnya guru dapat melakukan perbaikan pembelajaran dengan didasari hasil penilaian belajar sebelumnya. Teknologi membantu guru mengarsipkan hasil penilaian dari tahun  ke tahun sehingga ia tahu betul kinerjanya yang dapat berpengaruh pada peningkatan hasil belajar siswa. Bahkan guru dapat mengetahui seberapa tinggi hasil belajar siswa asuhannya dalam berkompetisi dengan siswa dari sekolah lain. Itulah kinerjanya.
· Menyempurnakan sikap.Seluruh kebutuhan itu disempurnakan dengan kebiasaan hidup disiplin, hemat, kegemaran menbung, pandai memanfaatkan waktu dengan baik, memiliki sikap sosial yang terlatih bekerja sama sehingga cerdas menempatkan diri di tengah lingkungan, terbiasa dengan menyelesaikan pekerjaan yang bermutu,  daya juang untuk kuat dan tidak mengenal menyerah yang selalu dilandasi dengan kekuatan iman yang kuat. Hasil karya siswa yang didokumentasikan tidak hanya dalam bentuk nilai melainkan karya dapat mencerminkan aspek-aspek sikap yang mampu guru fasilitasi untuk dikembangkan. Sikap siswa sangat bergantung pada seberapa banyak kebiasaan baik diulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
· Mengintegrasikan berbagai variabel dalam kisi-kisi perencanaan belajar. Terdapat begitu banyak variabel mutu yang perlu pendidik pertimbangkan dalam meningkatkan perbaikan mutu hasil lulusan melalui kegiatan perbaikan perencanaan pada tiap tahun pelajaran. Target sekolah agar siswa dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan terampil menerapkan ilmu pengetahuan, serta meningkatkan kapasitas sikap pribadinya yang kontruktif dalam memanfaatkan kompetensinya agar mampu bersaing dalam memperoleh penghidupan. Semua bergantung pada daya belajarnya.
Untuk mengoptimalkan daya belajar siswa, maka sekolah perlu memenuhi kebutuhan dasar perbaikan kurikulum melalui 10 langkah di bawah ini .
· Merumuskan profil lulusan disertai dengan target mutu keberhasilan yang terukur.
· Menggambarkan indikator hasil belajar yang sesuai dengan kebutuhan peningkatan mutu lulusan.
· Mengidentifikasi indikator hasil belajar yang siswa butuhkan untuk lulus ujian nasional, melanjutkan pendidikan, dan berkompetisi dalam bidang akademik pada tiap mata pelajaran yang diuraikan pada tiap standar kompetensi.
· Memiliki sejumlah soal yang secara empirik digunakan dalam seleksi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau berkompetisi.
· Menganalisis materi esensial dan level kesulitan soal pada soal-soal yang siswa harus kerjakan dalam kompetisi.
· Mengidentifikasi produk keterampilan terapan ilmu pengetahuan pada tiap disiplin ilmu yang berpeluang menjadi nilai keunggulan siswa pada taraf nasional dan internasional dalam bentuk lisan, tulisan, atau perbuatan yang dapat dipamerkan.
· Mengidentifikasi materi pelajaran, sumber belajar, dan teknologi yang sekolah akan gunakan dalam meningkatkan kapasitas belajar siswa.
· Mengidentifikasi penggunaan teknologi pada fungsi manajemen pembelajar maupun daya dukung tekologi dalam fungsi pedagogis.
· Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan sumber belajar dan hasil belajar yang sesuai dengan keperluan siswa melanjutkan, berkompetisi, dan hidup mandiri yang diselaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diintegrasikan pada kebutuhan perbaikan proses belajar, penggunaan metode belajar, dan alat peraga pembelajaran.
· Mengidentifikasi kebutuhan penyempurnaan perangkat evaluasi belajar yang selalu disesuaikan dengan kebutuhan  siswa lulus ujian nasional, lolos masuk pendidikan lanjutan, dan berkompetisi di tingkat nasional dan internasional

Comment
Sebuah perbaikan kurikulum untuk meningkatkan kompetensi lulusan memang sangat di di butuhkan oleh pendidikan indonesia, setidak nya kurikulum yang mampu mempunyai karakter kuat untuk menghadapi sebuah tantangan zaman yang bergerak lurus seiring berjalannya waktu.
Dalam artikel tersebut telah di sebutkan beberapa penyempurnaan dalam proses pembelajaran. Saya tertarik sekali dengan tiga hal :
1. Penyempurnaan metode dan media pembelajaran
2. penyempurnaan penilaian, dan
3. penyempurnaan sikap.
Dalam penyempurnaan metode dan media pembelajaran yang dimana metode pembelajaran yang menitik beratkan pada sebuah kemajuan teknologi dalam proses belajar, dimana seorang guru harus menggunakan alat – alat teknologi teranyar yang dapat memudahkan dan menarik minat perhatian siswa dalam belajar. Seperti nya metode seperti itu sulit sekali di terapkan di pendidikan kita karena banyak sekali para guru – guru di indonesia yang masih awam dengan kemajuan teknologi, karena banyak nya guru yang sudah berumur atau uzur masih menggunakan metode maupun media pembelajaran yang sudah kuno sehingga terkesan ketinggalan zaman.
Dalam Penyempurnaan penilaian di terapkan metode penilaian yang mengharuskan seorang guru dengan Teknologi mengarsipkan hasil penilaian dari tahun  ke tahun sehingga ia tahu betul kinerjanya yang dapat berpengaruh pada peningkatan hasil belajar siswa.
Dalam hal proses belajar mengajar merekam proses belajar sangat lah menarik perhatian karena dengan hal tersebut seorang guru dapat melihat dan mengatahui bagaimana pola dan proses belajar setiap siswa – siswa nya.
Penyempurnaan sikap pun sangat dibutuhkan dalam menyempurnakan semua aspek tersebut. Seperti kata – kata orang bijak seseorang di haruskan tidak hanya mempunyai pikiran yang besar tetapi juga berjiwa besar dalam menyikapi suatu hal.

STANDAR PENDIDIKAN

Standar Pendidikan Belum Menasional
Rabu, 23 Desember 2009 | 02:45 WIB
sumber Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU
Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pemerintah soal gugatan ujian nasional mencuat pada akhir tahun ini. Kembali, desakan untuk mengkaji ulang dan menghentikan penyelenggaraan ujian nasional menguat.
Persoalannya bukan sekadar tidak adil karena hasilnya menjadi penentu utama kelulusan siswa dari sekolah. Fokus permasalahan yang ingin ditekankan, seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang selanjutnya diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008, adalah kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut.
Negara ini sudah mereguk kemerdekaan selama 64 tahun. Namun, ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah negeri dan swasta, perkotaan dan pedesaan, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta masyarakat kaya dan masyarakat miskin masih menganga lebar.
Kesenjangan kondisi dan kualitas pendidikan itu masih berkutat di persoalan mendasar. Tersedianya guru profesional yang inovatif dan kreatif untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan belum terpenuhi merata di setiap sekolah. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan mendasar, seperti ruangan kelas, perpustakaan, buku pelajaran, dan laboratorium, banyak sekolah yang belum menyediakan.
Bagi kalangan pengamat pendidikan dan masyarakat luas, kesenjangan pendidikan itu bukanlah dijawab dengan pelaksanaan ujian nasional yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah yang tidak jelas tindak lanjutnya bagi sekolah. Masyarakat mendambakan bisa menikmati layanan pendidikan yang tidak diskriminatif, tetapi yang memenuhi standar nasional.
Badan Standar Nasional Pendidikan bersama Departemen Pendidikan Nasional sudah selesai membuat delapan standar pendidikan nasional yang menjanjikan layanan pendidikan prima. Standar pendidikan di setiap sekolah haruslah memenuhi standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, serta standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan yang sudah ditentukan secara nasional.
Mutu pendidikan dasar
Namun, standar pendidikan belum juga menasional di semua sekolah, pemerintah sudah sibuk mengembangkan sekolah-sekolah bertaraf internasional yang juga tak jelas arahnya. Kebijakan yang dinilai hanya menimbulkan kasta-kasta sekolah di tengah belum terujinya hasil pendidikan nasional berkontribusi dalam kemajuan sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni pada masa depan.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh boleh berkilah bahwa yang namanya peningkatan mutu guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi merupakan proses yang terus berlangsung. Pemerintah sedang dalam proses untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan anggaran minimal 20 persen dari APBN.
Namun, bagi masyarakat, proses peningkatan mutu pendidikan yang dikejar pemerintah tidak jelas arahnya, juga terlalu lama sehingga pemerataan pendidikan berkualitas tak kunjung terealisasi dari Sabang hingga Merauke.
Mutu secara sempit dikaitkan dengan pencapaian intelektualitas semata. Padahal, pendidikan juga merupakan proses pembudayaan sikap-sikap baik yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Yang terjadi saat ini, sekolah-sekolah kendur dalam pembentukan karakter, menumbuhkan kreativitas dan inovasi. Masalah-masalah kebangsaan seperti nasionalisme dan kecintaan kepada seni budaya bangsa mulai ditinggalkan.
Yang lebih miris, pendidikan dasar bermutu, yang minimal harus dirasakan semua warga negara, belum juga mampu dipenuhi bangsa ini. Pendidikan dasar gratis, yang mestinya diwujudkan pemerintah, dijalankan setengah hati.
Padahal, sebanyak 52,65 persen dari pekerja di negara ini hanya berpendidikan level SD ke bawah. Tanpa pendidikan dasar yang mumpuni, mereka terus dibayangi hidup dalam lingkaran kemiskinan.
Pendidikan dasar kita masih tertatih-tatih mengejar kualitas. Akses pendidikan dasar saja masih bermasalah. Ada sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar yang tidak sekolah, umumnya karena faktor ekonomi.
Dana bantuan operasional sekolah di SD-SMP yang jauh dari ideal lebih terserap untuk gaji guru dan tenaga sekolah honorer. Anggaran untuk mendukung operasional sekolah yang bisa dirasakan siswa menjadi terpangkas.
 
Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Ruang kelas di SD hampir 50 persen dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat.
 
Guru yang dinilai tidak layak mengajar, baik dari segi kualifikasi pendidikan maupun profesionalisme, sebagian besar justru guru di tingkat TK-SD. Tahun lalu tercatat sekitar 88 persen guru TK tak layak dan di tingkat SD sekitar 77,85 persen.
Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, arah kebijakan pendidikan Indonesia ini semakin tidak jelas. Proses belajar yang tercipta mulai tingkat SD mengandung nilai paksaan, menakut-nakuti, dan mengembangkan sikap terabas.
Hak anak untuk berkembang sesuai potensi dan kemampuannya lewat pendidikan sedini mungkin justru semakin terabaikan.
Menurut dia, jika di level SD saja pendidikan berkualitas tidak bisa dicapai, pasti akan berpengaruh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Lydia Freyani Hawadi, guru besar psikologi pendidikan Universitas Indonesia, berpendapat, pendidikan di Indonesia belum melihat siswa sebagai individu yang unik sehingga perlu pembelajaran yang tidak seragam. Kegagalan pendidikan untuk memahami kebutuhan dan potensi unik setiap siswa itu mengakibatkan kualitas pendidikan yang tidak sesuai harapan. Akibat lebih jauh, daya saing dan kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah di dunia internasional.
 
Oleh karena itu, reformasi pendidikan di Indonesia perlu juga meneropong hal-hal yang substansial, yakni peserta didik sebagai subyek. Karakteristik pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, dan ekonomi harus digali lebih mendalam.
Tidak cukup sertifikasi
Sementara itu, komitmen peningkatan kualitas dan profesionalisme guru yang dilaksanakan pemerintah bagi sekitar 2,8 juta guru yang mesti selesai pada tahun 2015 dianggap masih terjebak formalitas. Padahal, kebijakan yang dibutuhkan pendidik adalah adanya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan.
Ketika Departemen Pendidikan Nasional menetapkan visi 2010-2014 sebagai terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional, tersedianya guru yang mumpuni tidak bisa ditawar.
Pendidikan nasional mesti bisa membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif, dan wirausaha. Perlu penyelarasan pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.
Karena itu, tantangan yang mesti segera terjawab adalah menerapkan standar pendidikan nasional tanpa pilih-pilih. Semua anak bangsa mesti menikmati layanan pendidikan yang memenuhi standar nasional.

supervisi pendidikan

PENTINGNYA SUPERVISI PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
Maret 30, 2009 —
sumber Wahidin
BAB II
Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah.
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.[1]
Masyarakat mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional, maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.
Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
A. Pengertian Supervisi
Konsep supervisi modern dirumuskan oleh Kimball Wiles (1967) sebagai berikut : “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student, an envirovment). Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui layanan kegiatan supervisi. Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi, inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan bersifat otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis. Istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk perkataannya (morfologi), maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu ( semantik).
1) Etimologi
Istilah supervisi diambil dalam perkataan bahasa Inggris “ Supervision” artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor.
2) Morfologis
Supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk perkataannya. Supervisi terdiri dari dua kata.Super berarti atas, lebih. Visi berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang yang disupervisinya.
3) Semantik
Pada hakekatnya isi yang terandung dalam definisi yang rumusanya tentang sesuatu tergantung dari orang yang mendefinisikan. Wiles secara singkat telah merumuskan bahwa supervisi sebagai bantuan pengembangan situasi mengajar belajar agar lebih baik. Adam dan Dickey merumuskan supervisi sebagai pelayanan khususnya menyangkut perbaikan proses belajar mengajar. Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai berikut : “ Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik “. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Untuk itu ada dua hal (aspek) yang perlu diperhatikan :
a. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
b. Hal-hal yang menunjang kegiatan belajar mengajar
Karena aspek utama adalah guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Untuk itu guru harus memiliki yakni : 1) kemampuan personal, 2) kemampuan profesional 3) kemampuan sosial (Depdiknas, 1982).
Atas dasar uraian diatas, maka pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai berikut “ serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor ( Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru tersebut pula “Pembinaan profesional guru“ yakni pembinaan yang lebih diarahkan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru.
Supervisi dapat kita artikan sebagai pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula pembinaan guru.[1]

A. Pentingnya Pengembangan Sumber Daya Guru dengan Supervisi
Di abad sekarang ini, yaitu era globalisasi dimana semuanya serba digital, akses informasi sangat cepat dan persaingan hidup semakin ketat, semua bangsa berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia. Hanya manusia yang mempunyai sumber daya unggul dapat bersaing dan mempertahankan diri dari dampak persaingan global yang ketat. Termasuk sumber daya pendidikan. Yang termasuk dalam sumber daya pendidikan yaitu ketenagaan, dana dan sarana dan prasarana.[2]
Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
Ada dua metafora untuk menggambarkan pentingnya pengembangan sumber daya guru. Pertama, jabatan guru diumpamakan dengan sumber air. Sumber air itu harus terus menerus bertambah, agar sungai itu dapat mengalirkan air terus-menerus. Bila tidak, maka sumber air itu akan kering. Demikianlah bila seorang guru tidak pernah membaca informasi yang baru, tidak menambah ilmu pengetahuan tentang apa yang diajarkan, maka ia tidak mungkin memberi ilmu dan pengetahuan dengan cara yang lebih menyegarkan kepada peserta didik.
Kedua, jabatan guru diumpamakan dengan sebatang pohon buah-buahan. Pohon itu tidak akan berbuah lebat, bila akar induk pohon tidak menyerap zat-zat makanan yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu. Begitu juga dengan jabatan guru yang perlu bertumbuh dan berkembang. Baik itu pertumbuhan pribadi guru maupun pertumbuhan profesi guru. Setiap guru perlu menyadari bahwa pertumbuhan dan pengembangan profesi merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan output pendidikan berkualitas. Itulah sebabnya guru perlu belajar terus menerus, membaca informasi terbaru dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam pembelajaran agar suasana belajar mengajar menggairahkan dan menyenangkan baik bagi guru apalagi bagi peserta didik.
Peningkatan sumber daya guru bisa dilaksanakan dengan bantuan supervisor, yaitu orang ataupun instansi yang melaksanakan kegiatan supervisi terhadap guru. Perlunya bantuan supervisi terhadap guru berakar mendalam dalam kehidupan masyarakat. Swearingen mengungkapkan latar belakang perlunya supervisi berakar mendalam dalam kebutuhan masyarakat dengan latar belakang sebagai berikut :
1. Latar Belakang Kultural
Pendidikan berakar dari budaya arif lokal setempat. Sejak dini pengalaman belajar dan kegiatan belajar-mengajar harus daingkat dari isi kebudayaan yang hidup di masyarakat itu. Sekolah bertugas untuk mengkoordinasi semua usaha dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
2. Latar Belakang Filosofis
Suatu system pendidikan yang berhasil guna dan berdaya guna bila ia berakar mendalam pada nilai-nilai filosofis pandangan hidup suatu bangsa.
3. Latar Belakang Psikologis
Secara psikologis supervisi itu berakar mendalam pada pengalaman manusia. Tugas supervisi ialah menciptakan suasana sekolah yang penuh kehangatan sehingga setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri.
4. Latar Belakang Sosial
Seorang supervisor dalam melakukan tanggung jawabnya harus mampu mengembangkan potensi kreativitas dari orang yang dibina melalui cara mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi bersama. Supervisi harus bersumber pada kondisi masyarakat.
5. Latar Belakang Sosiologis
Secara sosiologis perubahan masyarakat punya dampak terhadap tata nilai. Supervisor bertugas menukar ide dan pengalaman tentang mensikapi perubahan tata nilai dalam masyarakat secara arif dan bijaksana.
6. Latar Belakang Pertumbuhan Jabatan
Supervisi bertugas memelihara, merawat dan menstimulasi pertumbuhan jabatan guru. Diharapkan guru menjadi semakin professional dalam mengemban amanat jabatannya dan dapat meningkatkan posisi tawar guru di masyarakat dan pemerintah, bahwa guru punya peranan utama dalam pembentukan harkat dan martabat manusia.
Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).
Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Secara umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran, yakni:
1. Supervsi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru.
Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
2. Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kinerja.
Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:
a. Bidang Akademik
b. Bidang Kesiswaan
c. Bidang Personalia
d. Bidang Keuangan
e. Bidang Sarana dan Prasarana
f. Bidang Hubungan Masyarakat
Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya :
a. Penggunaan program semester
b. Penggunaan rencana pembelajaran
c. Penyusunan rencana harian
d. Program dan pelaksanaan evaluasi
e. Kumpulan soal
f. Buku pekerjaan siswa
g. Buku daftar nilai
h. Buku analisis hasil evaluasi
i. Buku program perbaikan dan pengayaan
j. Buku program Bimbingan dan Konseling
k. Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler



I. KESIMPULAN
A. Kebijakan pendidikan harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan yakni guru melalui interaksinya dalam pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada rencana strategis. Keterlibatan seluruh komponen pendidikan (guru, Kepala Sekolah, masyarakat, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, dan isntitusi) dalam perencanaan dan realisasi program pendidikan yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan.
Implementasi kemampuan professional guru mutlak diperlukan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.
Salah satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran. Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya, baik kepala sekolah dan pengawas menggunakan lembar pengamatan yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru dan kinerja sekolah. Untuk mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan, personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat.
Implementasi kemampuan professional guru mensyaratkan guru agar mampu meningkatkan peran yang dimiliki, baik sebagai informatory(pemberi informasi), organisator, motivator, director, inisiator (pemrakarsa inisiatif), transmitter (penerus), fasilitator, mediator, dan evaluator sehingga diharapkan mampu mengembangkan kompetensinya.
Mewujudkan kondisi ideal di mana kemampuan professional guru dapat diimplementasikan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut lantaran aktualisasi kemampuan guru tergantung pada berbagai komponen system pendidikan yang saling berkolaborasi. Oleh karena itu, keterkaitan berbagai komponen pendidikan sangat menentukan implementasi kemampuan guru agar mampu mengelola pembelajaran yang efektif, selaras dengan paradigma pembelajaran yang direkomendasiklan Unesco, “belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be)”.


Coment

Supervisi pendidikan digunakan untuk meningkatkan profesionalme para guru memang sangat tepat. Supervisi pendidikan di lakukan dengan cara melihat dan mengevaluasi kinerja para guru dan serta kepala sekolah.

Kepala sekolah mempunyai tugas untuk menjalankan roda pendidikan dalam ruang lingkup yang lebih luas jika dibandingkan oleh guru. Kepala sekolah bertanggung jawab atas hasil yang didapat oleh para murid.

Masing – masing sekolah di Indonesia harus menerapkan proses supervisi pandidikan agar terciptanya proses pengembangan di bidang pendidikan. Untuk proses supervisi pendidikan sekarang ini di sekolah – sekolah terlihat kurang berjalan sesuai rencana yang memang benar – benar di inginkan, semua itu terlihat dari hasil mutu pendidikan indonesia yang tidak mengalami perkembangan berarti. Berdasarkan hal itu dapat terlihat sekali bahwa supervisi yang seharusnya di jalankan dengan proses terencana dan sistematis terkesan disepelekan.

Para pelaku pendidikan di indonesia terutama dan khusus nya seorang guru belum mampu melaksanakan tugas nya dengan baik dan profesional, tak bisa di pungkiri juga bahwa pendidikan di indonesia terkesan terlalu lambat dalam menghadapi tantangan kehidupan masa kini. Dengan adanya supervisi yang di lakukan oleh kepala sekolah untuk memperbaiki mutu pendidikan sekolah yang ia pimpin.

Di dalam proses Supervisi pendidikan yang harus di tekankan dan menjadi perhatian oleh pengawas sekolah kepada sepala sekolah ialah di bidang sarana dan prasarana pendidikan, karena bidang tersebut yang menentukan kemampuan kompetensi seorang murid, Jika sarana dan prasarana nya tidak memadai, Bagaimana murid nya mempunyai nilai kompetensi yang baik?. Bagaimana nanti muridnya dapat bersaing dalam menghadapi tantangan zaman?.

Dengan melakukan supervisi pendidikan di setiap sekolah tidak hanya menjadikan sekolah tersebut menjadi lebih baik, tetapi juga menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk memperbaiki segala sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana.